Sekolah Ilmu Lingkungan bekerjasama dengan LPEM FEB UI pada Selasa, 27 Februari 2018 menyelenggarakan kuliah umum mengenai kebijakan pengelolaan gambut. Mengangkat topik terkait kebijakan pengelolaan gambut di Indonesia melalui perspektif keberlanjutan melalui aspek ekologi, ekonomi, dan sosial.

Acara ini menghadirkan keynote speaker Prof. Emil Salim, MA., Ph.D (Pendiri Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia) yang membahas pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan gambut dalam perspektif lingkungan, serta Prof. Kosuke Mizuno (perwakilan Center for Southeast Asian Studies Kyoto University, Japan) sebagai dosen tamu. Para pembicara meliputi Dr. Ir. Nur Masripatin M.For.Sc (Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim), Kiki Verico, Ph.D (kepala Divisi Penelitian LPEM FEB UI), Nadzier Fuad (Kepala Badan Restorasi Gambut, dan Prof. Supiandi Sabihan (perwakilan Masyarakat Gambut Indonesia).

Acara berjalan pukul 08.30-12.00 WIB ini dihadiri oleh 123 orang, baik berasal dari pihak pemerintah, swasta, sivitas akademika, maupun non government organization.

Secara umum, acara ini berisi diskusi kebijakan terkait tata kelola lahan gambut di Indonesia guna mengkaji solusi yang dibutuhkan untuk menciptakan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang tepat agar berkelanjutan.

Berdasarkan hasil diskusi yang ada, Prof. Kosuke Mizuno menjelaskan bahwa harga jual dan nilai ekspor yang terus meningkat membuat kelapa sawit menjadi komoditas menjanjikan. Atas potensi besar ini, pembangunan skala besar industri sawit terus berkembang, menimbulkan banyak dampak negatif. Masyarakat adat seperti Melayu dan Jawa tidak lagi menjaga lingkungan mereka, lahan gambut “dikeringkan” agar dapat ditanami kelapa sawit. Akibatnya, terjadi degradasi yang drastis di lahan gambut. Degradasi ini juga diikuti dengan fenomena kebakaran hutan. Kebakaran disebabkan deplesi kandungan air dalam lahan gambut. Ketika kebakaran terjadi, api menjadi sulit padam dan karbon dioksida terus dihasilkan. Fakta yang terjadi adalah masyarakat setempat mengolah sawit menjadi komoditas CPO (crude palm oil) yang siap diekspor. Dengan kata lain, tidak ada added-value lagi yang ditambahkan ke komoditas kelapa sawit ini. Fakta menarik lain juga muncul dari papan “dilarang membakar hutan” yang diletakkan pada lahan yang sudah kosong. Sebagai solusi, hilirisasi menjadi kunci dalam pengentasan permasalahan lahan gambut. Selama ini, Indonesia terlalu berfokus pada sisi hulu, sehingga terjadi ketidakseimbangan manajemen berdasarkan konsep rantai pasok.

 Sementara itu, Prof. Emil Salim, MA., Ph.D menjelaskan bahwa terdapat perbedaan persepsi tentang dampak dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Terhadap Industri Pulp & Kertas dan Perekonomian Indonesia. LPEM FEB UI menyatakan bahwa implementasi peraturan ini dalam jangka 5 tahun ke depan memberi dampak negatif seperti penurunan output nasional, nilai tambah, pendapatan, hingga kesempatan kerja. Persepsi ini kemudian dibantah dengan beberapa argumen:

  1. Fakta kelapa sawit yang mendominasi perkebunan Indonesia
  2. CPO yang sangat potensial masuk sebagai Environmental Goods APEC dengan cara memenuhi semua kriteria bersangkutan
  3. Pengeringan lahan gambut untuk pembukaan lahan kelapa sawit mencapai 80 cm
  4. Mencari solusi keseimbangan atas kualitas sawit dan ancaman kebakaran lahan gambut yang merusak ekosistem
  5. Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian dan perikanan memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah ketimbang untuk perkebunan kelapa sawit
  6. Nilai ekonomi gambut ternyata tidak dinikmati oleh rakyat miskin
  7. Pembukaan kebun kelapa sawit menjadi pemicu kebakaran yang merugikan dunia higga ratusan triliun rupiah.

Sebagaimana dengan yang disampaikan Dr. Ir. Nur Masripatin, M.For.Sc., pengelolaan lahan gambut harus sesuai dengan konsep sustainability, yakni bertumpu pada tiga sektor yang terintegrasi, ekologi, sosial, dan ekonomi. Solusi penanganan masalah lahan gambut perlu berangkat dari kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim setelah ratifikasi Paris Agreement berdasarkan UU No. 16 Tahun 2016. Mitigasi berupa target penurunan emisi, sementara adaptasi berupa ketahanan ekonomi, sosial & livelihood, serta ekosistem & lansekap. Dalam upaya ini, pengelolaan gambut memainkan peran penting lantaran kontribusinya yang paling besar dalam statistik tingkat emisi gas rumah kaca nasional tahun 2000–2016. Solusi perlu diterapkan dengan skema perbandingan Business-As-Usual (BAU).

Kiki Verico, Ph.D menjelaskan bahwa penelitian terkait permasalahan lahan gambut dapat dikaji dari beragam sektor. Salah satu sektor yang tidak lepas dari kajian tersebut tentu adalah ekonomi. Cost and benefit menjadi metode utama yang diaplikasikan pada sektor ini. Penelitian yang dinaungi LPEM FEB UI kali ini berfokus pada perhitungan Cost, seperti CEA (cost-effectiveness analysis), CUA (cost-utility analysis), hingga CBA (cost-benefit analysis), sehingga penelitian ini masih belum komprehensif. Dalam ilustrasi gajah, penelitian ini hanya berfokus pada satu bagian tubuh spesifik dari gajah, belum mencakup keseluruhan tubuh gajah. Penelitian terkait dari berbagai sektor lainnya sangat diperlukan sebagai komplemen dalam menjawab permasalahan gambut yang kompleks. Penanganan perlu bersifat dinamis, interdependen, dan integratif.

Ir. Nazir Foead, M.Sc memaparkan bahwa tahun 2017 lalu, kebakaran hutan di Amerika mencapai 4 juta hektar, yang mana jauh lebih tinggi dari Indonesia. Hal yang menarik, di Amerika tidak ada oknum makelar tanah yang membuka lahan dengan cara membakar. Lahan yang ada terbakar karena banyak faktor lain seperti kekeringan, intensitas hutan yang mati, hingga kelalaian manusia. Hal ini terbalik dengan fakta di Indonesia. Sebagian kasus kebakaran hutan Indonesia disebabkan pembukaan lahan dengan cara membakar. Artinya, Indonesia sebenarnya sangat rentan terhadap risiko kebakaran ini. Di sisi lain, pemerintah memiliki anggaran yang terbatas untuk menangani bencana seperti ini. Atas permasalahan ini, restorasi menjadi upaya signifikan yang perlu digalang, seperti yang dilakukan Badan Restorasi Gambut melalui program pembasahan, revegetasi, dan revitalisasi ekonomi. Aksi kolaboratif tentu diperlukan dalam menangani berbagai aspek. Permasalahan tidak hanya dilihat dari sisi ekologis, tetapi juga kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat.

 Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabihim, M.Agr juga menjelaskan bahwa tantangan pengelolaan gambut dewasa ini bertumpu pada upaya rehabilitasi, baik dalam bentuk restorasi (pengembalian ke sistem hutan alami) maupun reklamasi (perbaikan fungsi lahan). Kebijakan yang akan diambil tentu didasarkan pada banyak pertimbangan, seperti ketersediaan peta, tingkat degradasi, level air tanah, partisipasi masyarakat, waktu pengembalian ekosistem, dan sebagainya. Yang jelas, pemilihan kebijakan yang tepat perlu melibatkan strategi adaptasi, kesejahteraan, dan pengembangan masyarakat setempat.

Kebijakan yang diperlukan Indonesia yaitu kebijakan yang dapat menciptakan pengelolaan lahan gambut dapat bermanfaat secara ekonomi namun berlandas pada tata kelola lingkungan yang baik, serta mencegah terjadinya bencana di lahan gambut. Kebijakan-kebijakan yang ada perlu saling bersinergi dan melibatkan seluruh mitra dan tidak tumpang tindih antar pemangku kepentingan.

-Sekolah Ilmu Lingkungan